Kebenaran Dari Buah Hasil Pemikiran Atau Pencipta Alam Semesta

“Kebenaran itu relatif. Kita tidak boleh merasa paling benar, semua pendapat dan semua ajaran/keyakinan didunia ini adalah benar”. Demikianlah kurang lebih pernyataan yang sering didengunkan oleh kaum “Islam” Liberal sebagai senjata mereka didalam perdebatan dan prinsip ajaran yang mereka yakini, namun anehnya mereka meminta pengakuan bila mereka adalah penganut agama Islam.

Saya sependapat bila dikatakan kebenaran itu relatif. Namun sebelumnya ada pertanyaan yang harus dijawab dahulu; kebenaran dalam hal apa dulu ?


1 + 1 = 2 , benarkah ?
Yup…, pernyataan matematika diatas bisa bernilai benar bila penjumlahan bilangan dioperasikan adalah bilangan berbasis 10 atau berbasis 9 atau berbasis 8 atau yang lainnya. Namun pernyataan diatas menjadi bernilai salah bila bilangan yang digunakan adalah bilangan yang berbasis 2, maka pernyataan matematika diatas tidak lagi bernilai benar.

Hal yang sederhana dapat saya gambarkan bagaimana cara atau kode yang kita berikan untuk menghentikan kendaraan umum atau mobil yang kita akan tumpangi dari beberapa daerah yang berbeda.
Di Palembang, untuk menghentikan kendaraan yang kita ingin tumpangi adalah dengan cara mengeluarkan jari telunjuk atau menunjuk kearah jalan raya sambil digerakka sedikit atas dan bawah, tapi tidak halnya di Amerika seperti dalam film-film yang pernah saya tonton untuk menghentikan mobil yang akan ditumpangi mereka akan mengacungkan jempol (ibu jari) yang digerakkan kearah belakang disamping kepala. Lain lagi halnya ketika menghentikan mobil yang saya perhatikan di Jakarta, orang-orang tak pernah mengacungkan jempol atau telunjuk, yang saya lihat adalah dengan melambaikan tangan dengan semua jari.

Benar cara menghentikan mobil di Palembang belum tentu benar dengan cara menghentikan mobil di Amerika, benar cara menghentikan mobil di Amerika belum tentu benar dengan cara menghentikan mobil di Palembang.
Demikianlah kebenaran itu menjadi kebenaran yang relatif, tergantung dari sudut pandang mana melihat kebenaran itu.

Kebiasaan dari hasil pemikiran manusia di suatu tempat atau daerah akan menjadi budaya, kebiasaan dan budaya dari masing-masing daerah akan menjadi berbeda. Benar kebiasaan dari satu daerah belum tentu benar menurut kebiasaan daerah lainnya. Maka manusia bijak dapat memahami dan mengikuti akan kebiasaan atau kebenaran dari budaya tertentu.

Namun ketika berbicara tentang kebenaran yang datangnya dari sang Pencipta Alam semesta maka kita tidak dapat mengatakan bahwa kebenaran itu relarif. Kebenaran yang datang dari sang khalik adalah kebenaran mutlak, kebenaran yang sudah tidak bisa diubah lagi oleh pandangan manusia, kebenaran yang tidak lagi memandang dizaman ia diyakini.

Bagi orang Islam Al Qur’an adalah petunjuk buat kehidupan sekaligus menjadi kebenaran yang hakiki, kebenaran yang mutlak. Nabi Muhammad SAW telah dipilih untuk menyampaikan wahyu ini yang sekaligus juga memberikan contoh bagaimana melaksanakan dan mengamalkan isi Al Qur’an sebagai kebenaran yang absolut.

Maka ketika kebenaran yang hakiki itu berbenturan dengan kebenaran budaya hasil pemikiran manusia maka sudah seharusnya kebenaran berdasarakan budaya hasil pemikiran manusia itu harus disingkirkan.

Namun pada kenyataannya hal-hal pokok didalam ajaran Islam atau hal-hal yang telah didefinisikan secara jelas dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW, ternyata masih saja ada manusia yang menafsirkan ajaran nabi Muhammad SAW berdasarkan pemikiran sendiri yang dicampur adukkan dengan kebiasaan/budaya mereka yang lebih didorong oleh kehendak hawa nafsu semata. Hawa nafsu ingin terkenal, hawa nafsu membalas dendam atas rasa tak keadilan, hawa nafsu ingin menjadi yang paling dihormati dan hawa nafsu-hawa nafsu syetan lainnya.

Kelompok “Islam” Liberal yang meyatakan bahwa di zaman yang sudah maju ini Al Qur’an sudah tidak layak lagi untuk dijadikan pedoman, atau kelompok “islam” yang lain yang mengakui adanya nabi lain setelah nabi Muhammad, atau kelompok “islam” yang lain lagi “yang mengubah lafadz sholat, atau juga kelompok “islam” lain yang menafsirkan arti jihad dengan membunuh orang lain yang tak bersalah. Hal-hal demikian diatas adalah beberapa contoh dari penafsiran yang hanya dilandaskan berdasarkan pemikiran dan kepentingan hawa nafsu manusia belaka.

Berbicara tentang kebenaran yang mutlak bukanlah berbicara tentang kebenaran yang dipandang dari berbagai sudut pikiran manusia. Kita tidak dapat menilai semuanya merupakan kebenaran bila ada pertentangan, apalah artinya kebenaran hakiki yang kita yakini datangnya dari sang Khalik, bila kita masih harus memahami dan mentolerir kebenaran dari sudut pandang yang diyakini oleh kelompok lain yang membenarkan adanya nabi lain setelah nabi Muhammad, yang membenarkan semua ajaran/keyakinan adalah benar, yang membenarkan jihad adalah membunuh orang lain yang tak bersalah dan bunuh diri, jelas sekali kesemuanya tersebut bertentangan dengan sumber ajaran sebenarnya.


Palembang, 16 Agustus 2009


Salam…

by roel

Terimakasih untuk kunjungannya...
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment