Akal Sehat vs Hawa Nafsu

Walaupn kata “akal sehat” seringkali didengar, bahkan ada yang katanya membagi-bagikan akal s
ehat, tapi kata ini tidak ditemukan artinya di kamus Bahasa, KBBI online. Jika merujuk dari kata “sehat”, kemudian diikuti dengan kata “akal” sehingga menjadi “sehat akal” maka di dalam KBBI  kata ini diartikan sebagai waras atau tidak gila.  Namun jika ditelusuri dari berbagai literatur, sebagian orang memaknai akal sehat kedalam bahasa inggris dengan kata “common sense”. Apa itu common sense?  belum untuk dibahas, di tulisan ini saya lebih ingin memaknai akan sehat sebagai sebagai akal yang waras alias tidak gila.

Hanya segelintir orang yang memiliki akal yang tidak waras alias gila, yang sebagian menjadi pasien di rumah sakit jiwa, itupun terkadang tidak sepenuhnya gila,  terkadang sehat/waras terkadang sakit. Namun demikian, tidak berarti orang-orang memiliki akal yang waras memiliki kecerdasan yang sama, karena kecerdasan salah satunya ditentukan oleh daya nalar atau logika berpikir seseorang, yang  memiliki tingkat yang berbeda-beda.

Kecerdasan berpikir manusia juga sangat bergantung dengan banyak atau tidaknya informasi yang diterima dan diingat oleh akal manusia itu sendiri untuk diolah. Akal seseorang yang memiliki informasi yang sedikit, maka akalnya tidak akan maksimal bekerja, bahkan tidak bisa bekerja sama sekali.  Sebagai contoh sederhana, jika seseorang tidak mengenal angka, maka bagaimana akalnya melakukan logika berhitung dengan benar,  atau jika di dalam ingatan seseorang memiliki informasi kosa kata yang terbatas, maka bagaimana akalnya mampu mencerna omongan orang lain. Lebih mudahnya, bicaralah dengan bahasa Palembang dengan orang inggris, maka si bule cuma bengong karena didalam otaknya tak ada sama sekali informasi kosa kata bahasa Palembang.

Informasi merupakan hal yang sangat penting. Semakin banyak informasi atau pengetahuan yang dimiliki seseorang maka akan semakin luas wawasan berpikir orang tersebut, dan ini tidak hanya berlaku untuk para ahli yang sering melakukan penelitian, tapi juga untuk orang-orang yang gemar belajar dan membaca yang terus menerus mencari pengetahuan atau informasi. Itulah sebabnya mengapa Ilmu pengetahuan terus berkembang, dikarenakan adanya Informasi-informasi baru atau penemuan-penemuan baru dari seseorang atau pakar, kemudian  Informasi atau penemuan baru ini dianalisa dan diolah oleh ahli lain, sehingga Informasi/penemuan yang satu direkayasa dan dikolaborasikan dengan penemuan yang lain maka akan menghasilkan pengetahuan/informasi baru pula pula.

Orang yang memiliki informasi/wawasan yang terbatas, maka akalnya hanya mampu berpikir disekitar informasi yang terbatas itu saja, seperti dalam peribahasa “bagai katak dalam tempurung” maka  si katak yang terperangkap dalam tempurung hanya mampu berdiam diri tak mampu lagi melompat dan mengetahui apa yang terjadi diluar tempurung. Ketika seseorang hanya berkutat dengan informasi yang ia terima itu-itu saja, maka jadilah ia orang yang berpikiran sempit, ia akan mencerna dan menyelesaikan persoalan dengan sebatas informasi yang ia pahami, ia akan sulit membedakan baik dan buruknya tentang sesuatu hal, ia tidak tahu bahwa begitu banyak cara menyelesaikan persoalan dengan cara lain. Orang-orang semacam ini terlihat seperti orang bodoh bagi yang memiliki wawasan yang luas.

Dapat dimaklumi jika ketidaktahuan atau kebodohan seseorang itu dikarenakan  memang banyak informasi yang tidak sampai ke akal pikiran mereka, namun yang menjadi aneh adalah di era teknologi komunikasi dan teknologi informasi yang sedemikian hebatnya dimana informasi dengan sangat mudah diterima, ditambah lagi orang tersebut memiliki akal dengan daya nalar yang baik yang dibuktikan dengan tingkat pendidikan yang tinggi bahkan sudah sampai pada tingkat sarjana, tapi tetap saja seseorang itu kelihatan seperti orang bodoh,  seperti orang yang tidak mengerti banyak hal, yang tak paham membedakan baik dan buruk tentang sesuatu. Melihat fenomena ini, maka tentu saja ada sesuatu yang salah pada diri seseorang tersebut.

Mengutip perkataan dari seorang ulama Tuang Guru Bajang, Muhammad Zainul Majdi, bahwa “yang paling tinggi dari ilmu agama itu adalah ahlak”, artinya tak ada gunanya semua informasi yang diterima seseorang dan kecerdasan yang dimilikinya, jika akal pikirannya dikuasai oleh hawa nafsu, jika akal pikirannya lebih dikuasai oleh rasa kesombongan, kebencian, merasa diri paling benar, merasa diri dan kelompoknya-lah yang pasti masuk surga, dan seterusnya dan seterusnya. Dengan bercampurnya hawa nafsu yang jahat kedalam akal pikiran seseorang, maka ia akan terlihat bodoh yang tak mampu membedakan baik dan buruk.

Orang-orang yang lebih mempertimbangkan hawa nafsu ketimbang akal pikirannya adalah orang-orang yang sakit, sudah begitu jelas terpampang dan dapat ia saksikan sendiri dengan mata kepalanya  berkenaan dengan sesuatu atau seseorang, namun dengan akalnya yang sehat sepertinya ia menjadi seorang yang dungu yang tak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Rasa benci, sifat hasat hasut lebih menjadi sesuatu yang mendominasi pada dirinya dalam mempertimbangkan sesuatu. Namun ketika ia menjelaskan alasan tentang sesuatu ia akan gunakan kecerdasan akalnya untuk  beragumen dengan seribu satu dalih yang dipaparkan, nauzubillah…

Seharusnya dengan akal yang diberikan oleh Sang Pencipta dapat menjadikan seorang manusia yang bijak. Jika hanya untuk membedakan baik dan buruk berkenaan dengan sesuatu maka tak perlu memiliki daya nalar (kecerdasan) yang luar biasa, cukuplah hanya menjadi orang yang waras alias tidak gila, apalagi di era teknologi informasi dan komunikasi saat ini, dimana informasi sangat mudah diperoleh.

Akal sehat tak perlu dibagi-bagi, karena semua sudah punya kecuali pasien sakit jiwa, itupun kadang sehat kadang sakit, yang perlu dibagi-bagi itu akal yang bersih dan jernih, yang tak bercampur dengan kotoran kebencian, hasat dan hasut...

Wallahu A’lam

by roel

Terimakasih untuk kunjungannya...
    Blogger Comment
    Facebook Comment